Sebuah kisah ketika aku masih sekolah SD kelas 3, kalau tidak salah. Kejadian yang cukup unik, waktu aku bermain di sawah bersama teman-teman. Saat aku bermasalah dengan para domba milik tetangga.
Waktu itu seingatku, aku bermain di jalan di tengah sawah bersama dua orang teman. Agak sedikit kabur memoriku mengenai siapa dua orang temanku itu, kemungkinan besar si Endog dan Rere.
Seperti biasanya, hari-hari waktu itu sebagai anak desa sepulang sekolah aku bermain dengan teman-teman. Walaupun sebelum bisa keluar rumah, aku dipaksa belajar sejenak oleh ibuk. Maklumlah, ibuku guru SD, kelas 3 pula, jadi cukup mengikuti sekali perkembangan belajarku waktu itu.
Waktu itu di sawah padi sudah tinggi dan menguning, matahari menyinari terus dari pagi sampai sore. Jadi itu pasti bulan-bulan kemarau. Kemungkinan besar aku main ketapel dan berburu burung emprit di sawah.
ilustrasi sawah. sumber gambar: ekosantosoarts.wordpress.com |
Tidak hanya burung emprit sebenarnya yang menjadi target operasiku, namun segala macam hal yang menarik untuk dijepret, ditembak dari jarak jauh dengan ketapel andalan.
Aku bermain entah kemana saja, hingga suatu ketika matahari sudah membuat langit berwarna agak orange. Mungkin jam 4 sore. Aku berada di jalanan tengah sawah. Di sana banyak domba yang digembalakan lepas oleh tetanggaku. Makan rumputlah mereka sepuas hati.
Dalam sekumpulan kambing itu biasanya terdapat satu jantan dan beberapa betina beserta anak mereka. Sama dengan sekumpulan kambing milik tetanggaku waktu itu. Sudah menjadi sifat kambing jantan jika digoda akan marah dan menyeruduk. Apalagi jika digoda dengan bokong yang mleding. Mleding itu bahasa jawa, kalo bahasa indonesianya nungging.
Nah waktu entah ide siapa, hingga kami mledingi kambing jantan. Sekali marah dia nyeruduk, no problem, aman, dombanya masih ditali di pasak.
Namun keisengan kami yang otaknya masih bertumbuh itu membuahkan amarah sang domba jantan hingga pasaknya lepas. Sontak kami ngibrit melarikan diri.
Waktu itu suasananya chaos buat kami, kami tidak hanya dikejar oleh satu kambing tetapi sekumpulan kambing yang mengejar kami. Sudah menjadi sifat alami para kambing akan mengikuti pemimpinnya. Maka se bapak kambing, istri-istri kambing dan anak-anaknya lari mengejar kami.
domba. sumber gambar: bingkaiwarta.com |
Sekitar 200 meter kami sanggup melarikan diri, namun mereka masih bersemangat ingin menyudruk bokong kami. Hingga tidak ada opsi lagi selain kami harus terbang melompat ke sawah. Aku ke sawah kiri dan dua temanku ke kanan. Kami menceburkan diri untuk menyelamatkan bokong kami dari keganasan dan kengerian tandukan domba.
Maka selamatlah aku. Kulihat dua orang temanku juga selamat, maka kami tertawa sendiri melihat kebodohan kami.
Lalu aku lihat para kambing itu masih terus berlari ke arah kampung. Aku pikir memang sudah waktunya juga sih mereka pulang ke kandang. Namun karena larinya domba yang cukup kencang serombongan itu cukup heboh juga. Hingga dari jauh kulihat ternyata ada anak kecil yang tadinya berjalan ke arahku tapi kemudian berbelok arah sambil lari tunggang langgang. Tidak hanya lari ngbrit, anak itu juga nangis kejer ketakutan.
Aku dari jauh melihatnya sambil sedikit khawatir dan berpikir, itu bocah siapa ya. Di ujung perhatianku ternyata terkuak bahwa bocah kecil itu berlari dan masuk ke halaman rumahku dan langsung masuk rumah. Ternyata dia adikku sendiri. 😝
Aku tertawa karena geli melihat adikku tunggang langgang ketakutan dikejar gerombolan domba. Namun di sisi lain dalam hati merasa bersalah juga. Karena keisenganku dan teman-temanku, yang jadi korban malah orang lain, yaitu adikku.
Nangis. Sumber gambar: theasianparent.com |
Masa kecil memang begitu, harus dimaklumi. Mungkin otak kami masih bertumbuh sehingga kami tidak jauh memikirkan sebab akibat. Namun dari situ kami menjadi tahu bahwa ketika kita bertindak harus dipikir lagi sebab akibatnya sehingga tidak merugikan orang lain. Sukur-sukur malah bermanfaat, itu lebih baik.
Ya seperti itulah salah satu cerita kejadian nyata yang aku alami waktu dulu. Menurutku cukup unik karena masih cukup membekas sekali di memori kepala ini.
Post a Comment